Kamis, 14 Juni 2012

Pendidikan Karakter


Menurut Alwisol (2006: 8) karakter diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan benar dan salah serta baik dan buruk secara ekplisit maupun implisit. Karakter erat kaitannya dengan kepribadian seseorang dimana disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral yang berlaku. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) seperti yang dikemukakan oleh Lickona (1992: 51) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan pendidikan karakter pada pembelajaran, manajemen sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler. Pendidikan karakter dapat pula  diintegrasikan ke dalam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran. Nilai-nilai karakter dapat ditemukan atau dipadukan dengan mata pelajaran. Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, usaha penyadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran (Kemdiknas, 2010). Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahan-bahan ajar tetap diperkenankan, tetapi bukan merupakan penekanan. Penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran inilah yang dijadikan sebagai penekanan.
Terdapat banyak nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan pada peserta didik. Nilai-nilai yang dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran fisika yaitu ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, dan cinta ilmu.
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Tahap perencanaan pembelajaran tersebut tertuang dalam silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Tahap pelaksanaan pembelajaran terdiri dari kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Pada tahap evaluasi, dipilih teknik dan instrumen penilaian yang dapat mengukur hasil belajar peserta didik sekaligus mengukur perkembangan kepribadian siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM.
Lickona, Thomas. (1992). Education for Character, How Our Schools Can Teach Resspect and Resposibility. New York: Batam Books. 
Kemdiknas. (2010). Pendidikan Karakter  di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

 

 

Hakikat Sains dan Kurikulum Sains (IPA)


Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Hakikat sains meliputi empat unsur, yaitu: (1) sikap: rasa ingin tahutentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; sains bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini ditambah lagi satu yaitu kreativitas (Kemendiknas: 2011).
Kurikulum sains (IPA) mencakup ruang lingkup bahan ajar, proses pembelajaran, dan assessment atau penilaian. Ruang lingkup bahan ajar untuk peserta didik kelas 1 – 9 walaupun terpadu dan kelihatannya sama, namun sebenarnya beda, yang membedakan adalah dari segi dimensi pengetahuan (knowlege) dan dimensi proses. Di samping itu, bahan ajar sains untuk siswa kelas 10 – 12 diberikan tidak secara terpadu, namun terpisah sesuai dengan cabang sains. Proses pembelajaran menekankan pada pemberian pengalaman langsung, kontekstual dan berpusat kepada siswa,  guru bertindak sebagai fasilitator. Asesmen pada pembelajaran IPA SD, SMP dan SMA ditekankankan pada: authentic assessment dan problem solving. 

DAFTAR PUSTAKA

Kemendiknas. (2011). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA secara Terpadu. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.